16 Oktober, 2008

Kolom Pendidikan

Konsep Pendidik dalam Perspektif Islam


A. Latar Belakang

Pendidik merupakan salah satu unsur pendidikan yang banyak memegang peran dan ikut andil dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan. Tercapai tidaknya tujuan pendidikan dipengaruhi pula oleh pendidik, atau bisa dikatakan pendidik adalah Central of Education.

Teori-teori tentang pendidik, banyak dikemukakan oleh pemikir-pemikir barat. Padahal islam juga mempunyai pandangan tentang pendidik yang tidak kalah dengan teorinya orang barat. Yang semua itu bisa menjadi bukti bahwa pemikir islam bukan pengadobsi pemikiran orang barat.

Selama ini islam hanya dipandang sebagai pengikut (ma’mum) adanya kemajuan dari barat. Apabila ditelaah lebih jauh, ternyata konsep yang diberikan islam tentang pendidik lebih baik dibandingkan konsep barat. Konsep barat dipandang kering dari unsur religi, karena mereka tidak memberikan unsur-unsur spiritual untuk perubahan akhlak peserta didiknya.

Akan tetapi, kenapa selama ini pendidikan islam masih kalah kualitasnya dari pendidikan barat?. Untuk itu, perlu dikaji sejauh manakah islam memandang seorang pendidik, demi kemajuan pendidikan islam.



  1. PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidik dalam Pendidikan Islam

Pendidik dalam islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).[1]

Dalam Kitab Taisir Al-khollaq dijelaskan pengertian pendidik yaitu:

المعلم دليل التلمذ الى ما يكون به كماله من العلوم والمعرفة. فيشترط ان يكون من ذوى الاوصاف المحمودة, لأن روح التلميذ ضعيفة بالنسبة الى روحه, فاذا تصف المعلم باوصاف الكمال كان التلميذ الموفق كذ لك. [2]

Di dalam ilmu pendidikan, yang dimaksud pendidik ialah semua yang mempengaruhi perkembangan seseorang, yaitu manusia, alam, dan ke-budayaan.[3] Pengertian ini lebih luas dari pengertian yang diberikan oleh pendidikan islam.

Setelah mengetahui pengertian tersebut, siapakah sebenarnya pendidik itu?. Dalam islam, orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.[4]

Orang tua bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anaknya. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: Pertama, karena kodrat yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang yang berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga.[5]

Firman allah SWT:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.[6]

Akan tetapi tidak selamanya orang tua dapat memberikan bimbingan terus terhadap anak-anaknya, untuk itu dibutuhkan seorang guru. Walaupun telah dibantu seorang guru, orang tua tidak bisa lepas dari tanggung jawab mendidik anaknya.

Pengertian guru secara terbatas adalah sebagai satu sosok individu yang berada di depan kelas.[7] Guru adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul dipundak orang tua.[8] Dengan demikian guru adalah orang tua kedua ketika berada di sekolahan.

B. Istilah-Istilah Pendidik dalam Perspektif Pendidikan Islam

Dalam literatur pendidikan islam seorang pendidik (guru) dapat di sebut sebagai ustadz, mu’allim, murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu’addib.[9] Al-Ghozali menambahkan dengan al-Walid (orang tua).[10]

Kata “ustadz” biasa digunakan untuk memanggil seorang profesor; ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya.[11]

Kata “muallim” berasal dari kata dasar ‘ilm yang berarti menangkap sesuatu. Dalam setiap ‘ilm terkandung dimensi teoritis dan dimensi amaliah (al-asfahani). Allah mengutus rasul-Nya antara lain agar Beliau mengajarkan (ta’lim) kandungan al-kitab dan al-hikmah yakni kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal yang mendatangkan manfaat dan menampik madlarat.[12]

Kata “murabby” berasal dari kata dasar “Rabb”. Tuhan adalah sebagai Rabb al-‘alamin dan Rabb al-nas, yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya termasuk manusia. Manusia sebagai khalifahnya diberi tugas untuk menumbuh kembangkan kreativitasnya agar mampu mengkreasi, mengatur dan memelihara alam seisinya. Dilihat dari pengertian ini, maka tugas guru adalah mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan mala petaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya.[13]

Kata “Mursyid” biasa digunakan untuk guru dalam Thariqah (tasawuf). Seorang Mursyid (guru) berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan kepribadiannya kepada peserta didiknya, baik yang berupa etos ibadahnya, etos kerjanya, etos belajarnaya, maupun dedikasinya yang serba Lillahi Ta’ala (karena mengharapkan ridla Allah semata). Dalam konteks pendidikan mengandung makna bahwa guru merupakan model atau sentral identifikasi diri, yakni pusat anutan dan teladan bahkan konsultan bagi peserta didiknya.[14]

Kata mudarris berasal dari akar kata “darasa - yadrusu - darsan wa durasan wadirasatan”, yang berarti: terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih, mempelajari. Dilihat dari pengertian ini, maka tugas guru adalah berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih ke-trampilan mereka sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.[15]

Sedangkan kata “mu’addib” berasal dari kata ‘adab, yang berarti moral, etika, dan adab atau kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir dan batin. Kata peradaban dalam bahasa Indonesia juga berasal dari kata dasar ‘adab. Sehingga guru adalah orang yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization).[16]

C. Kedudukan Pendidik dalam Islam

Salah satu hal yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat dibawah kedudukan Nabi dan Rasul. Penghargaan Islam yang tinggi kepada guru tidak bisa dilepaskan karena islam menghargai ilmu pengetahuan.[17]

Hadits Rosulullah SAW: Ulama ialah pewaris para Nabi. (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).

Ada penyebab khusus mengapa orang Islam amat menghargai guru, yaitu pandangan bahwa ilmu pengetahuan itu semuanya bersumber dari tuhan. Firman Allah:

(#qä9$s% y7oY»ysö6ß Ÿw zNù=Ïæ !$uZs9 žwÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ

“Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [18]

Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, sebagaimana dikutip al-Abrasyi mengatakan: “Seseorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan ilmunya itu. Dialah yang bekerja dibidang pendidikan. Sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang terhormat dan yang sangat penting, hendaknya ia memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya ini”.[19]

Dalam kitab Taisir Al-khollaq hal. 6, Karangan syaikh Hafid Husain al-mas’udi, diterangkan bahwa seorang peserta didik hendaknya mempercayai keutamaan guru itu lebih besar dari pada keutamaan orang tua, dikarenakan pendidik (guru) adalah yang mendidik ruhaninya.

Hadits Nabi Muhammad SAW tentang keutamaan seorang guru:

أغْدُ عَالِمًا, أَو مُتَعَلِّمًا, أَوْ مُسْتَمِعًا, أَوْ مُحِبًّا, وَلاَ تَكُنْ الْخَامِسَ فَتَهْلَكَ. (رواه البيهقى) [20]

“ Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pencinta, dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima, sehingga engkau menjadi rusak”.

Dalam hadits Nabi SAW yang lain: “Tinta seorang Ilmuwan (yang menjadi guru) lebih berharga ketimbang darah para Syuhada”.[21]

Andaikata di Dunia tidak ada pendidik, niscaya manusia seperti binatang, sebab: “pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia keluar dari sifat kebinatangan (baik binatang jinak maupun binatang buas) kepada sifat insaniyah dan ilahiyah.[22]

D. Tugas dan Peran Pendidik

Sebagian ahli dan pemerhati pendidikan berpandangan bahwa guru merupakan unsur determinan pendidikan yang paling utama. Pandangan ini melahirkan pola pendidikan teacher centered, guru adalah sentral proses pendidikan. Sebaliknya sebagian berpandangan bahwa anak didik/siswalah yang menjadi unsur determinan pendidikan. Pandangan ini mengimplikasikan pola pendidikan student centered, anak didik merupakan sentral orientasi dalam proses pendidikan.[23]

Menurut al-Ghozali, tugas pendidik yang utama adalah me-nyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri (Taqorrub) kepada Allah SWT. hal tersebut karena tujuan Pendidikan Islam yang utama adalah upaya mendekatkan diri kepada-Nya.[24]

Menurut Ki Hajar Dewantara, mengatakan bahwa tugas seorang pemimpin (guru) adalah ing ngarso sung tulada (didepan memberi teladan), ing madya mbangun karsa (ditengah membangun semangat), dan tut wuri handayani (dibelakang memberi pengaruh).[25]

Muhaimin secara utuh mengemukakan tugas-tugas pendidik dalam pendidikan islam. Dapat dilihat dalam bagan dibawah ini:

NO.

PENDIDIK

KARAKTERISTIK DAN TUGAS

1

Utadz

Orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif , komitmen, terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement.

2

Mu’allim

Orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi (amaliah).

3

Murabby

Orang yang mendidik dan mempersiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.

4

Mursyid

Orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya.

5

Mudarris

Orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai minat, bakat, dan kemampuannya.

6

Mu’addib

Orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas dimasa depan.

Dari tabel diatas, tugas-tugas pendidik sangat amat berat, yang tidak saja melibatkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan kemampuan psikomotorik.[26]

Terdapat beberapa peran guru dalam pembelajaran tatap muka yang dikemukakan oleh Moon, yaitu sebagai berikut:

1) Guru sebagai perancang pembelajaran (Designer of Instruction).

Guru dapat merancang dan mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efisien.

2) Guru sebagai pengelola pembelajaran (Manager of Instruction).

Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan meng-gunakan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.

3) Guru sebagai pengarah pembelajaran.

Hendaknya guru senantiasa berusaha menimbulkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar.

4) Guru sebagai Evaluator (Evaluator of Student Learning).

Evaluasi fungsinya sebagai penilaian hasil belajar peserta didik, informasi yang diperoleh melaui evaluasi ini akan menjadi umpan balik terhadap proses pembelajaran. Umpan balik akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran selanjutnya.

5) Guru sebagai Konselor.

Sebagai konselor guru diharapkan akan dapat merespons segala masalah tingkah laku yang terjadi dalam proses belajar.

6) Guru sebagai pelaksana kurikulum.

Sebagai pelaksana kurikulum tentunya guru sebagai orang yang bertanggung jawab dalam upaya mewujudkan segala sesuatu yang telah tertuang dalam suatu kurikulum resmi. Bahkan pandangan mutakhir menyatakan bahwa meskipun suatu kurikulum itu bagus, namun berhasil atau gagalnya kurikulum tersebut pada akhirnya terletak di tangan pribadi guru.[27]

E. Kompetensi Guru

Sebagai pihak yang bertindak sebagai transfer of knowledge dan fasilitator para siswa di sekolah, tenaga pendidik (guru) merupakan profesi yang mutlak membutuhkan persyaratan kemampuan (kompetensi). Hal ini sesuai dengan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemempuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.[28]

Kompetensi guru merupakan syarat utama dalam proses pembelajaran. Kompetensi disini didefenisikan sebagai pemilikan pengetahuan (konsep dasar keilmuan), keterampilan yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dilapangan, dan kemampuan sebagai duru dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi ini meliputi kompetensi professional, kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan ditambah dengan kompetensi keagamaan. Penelitian Puslitbang Penda dilakukan di 10 kota atau kabupaten se-Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta dengan jumlah responden 96 guru mata pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Tsanawiyah. Penelitian ini megukur kompetensi professional, kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi keagamaan guru agama di MTs.[29]

1) Kompetensi Profesional

Kompetensi professional adalah kemampuan guru dalam penguasaan bahan ajar secara penuh dan juga cara-cara mengajarnya secara pedagogis dan metodis. Kompetensi ini diukur melalui wawasan kependidikan, keterampilan PBM dan evaluasi hasil belajar, serta pengetahuan tentang materi pelajaran.[30]

Pendidik diharapkan mempunyai sikap profesional, sikap professional akan menimbulkan semangat dalam diri pendidik untuk terus berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan.

Seseorang dikatakan profesional bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya dimasa depan.[31]

Profesional, jelas berkaitan dengan kemampuan fungsional seorang guru untuk memahami, bersikap, menilai, memutuskan, atau bertindak didalam kaitan tugasnya. Profesional itulah yang akan menjadi kekuatan untuk mencapai hasil-hasil pendidikan dengan kualitas yang baik.[32]

Di zaman yang menghargai profesionalisme ini, guru sebagai tenaga profesional dibidang pendidikan mengalami nasib yang kurang menguntungkan. Sedangakan realitas menunjukkan bahwa ia telah melahirkan banyak orang yang cerdik pandai, diplomat, politikus, menteri, bahkan presiden sekalipun kiranya tidak akan pernah ada tanpa ada eksistensi guru. Fenomena ini mengedam karena tuntutan manusiawi dan profesionalisnya belum diperhatikan secara baik.[33]

Pendidik yang profesional harus memiliki kompetensi-kompetensi yang lengkap, meliputi:

a. Penguasaan materi al-Islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang yang menjadi tugasnya.

b. Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode, dan teknik) pendidikan islam, termasuk kemampuan evaluasinya.

c. Penguasaan ilmu dan wawasan kependidikan.

d. Memahami prinsip-prinsip dalam menafsirkan hasil penelitian pendidikan, guna keperluan pengembangan pendidikan islam masa depan.

e. Memiliki kepekaaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya.[34]

Selain sikap professional pendidik juga harus mempunyai kode etik dalam proses belajar mengajar maupun terhadap lingkungan pendidikannya. Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan (hubungan relationship) antara pendidik dan peserta didik, orang tua peserta didik, koleganya, serta dengan atasannya.[35]

Kompetensi professional guru agama (Aqidah Akhlak) di madrasah masih rendah. Hal ini didasarkan pada data penelitian bahwa kebanyakan (56%) guru memiliki penguasaan wawasan kependidikan rendah sekali. Dalam hal penguasaan PBM dan evaluasi hasil belajar, guru juga masih belum professional. Banyak guru (76%) juga tidak menguasai PBM dan evaluasi hasil belajar. Dalam hal penguasaan materi pelajaran Akidah Akhlaq-pun sebenarnya masih kurang. Namun masih banyak guru (64%) yang cukup menguasai materi pelajaran.[36]

2) Kompetensi Personal

Kompetensi personal guru berkaitan dengan potensi-potensi psikologis guru untuk tugas-tugas kependidikan. Sukmadinata merinci kompetensi personal menjadi tiga cakupan, yaitu: (1) penampilan sikap positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan; (2) pe-mahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dimilki guru; dan (3) penampilan sebagai upaya menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya.[37]

Kompetensi pribadi guru ini diukur melalui kebutuhan psikogenik yang meliputi need for achievement yakni kebutuhan untuk berprestasi, need for nurturant yakni kebutuhan untuk membantu orang lain, need for change yakni kebutuhan untuk berubah, dan need for autonomy yaitu kebutuhan untuk otonom.

Kebanyakan guru MTs (66%) memiliki kebutuhan psikogenik yang cukup. Hanya sebagian guru (20%) yang memilki kebutuhan psikogenik tinggi, dan sebagian kecil guru (14%) memiliki kebutuhan psikogenik rendah. Jika dilihatdari setiap komponen dari aspek ini, yang paling menonjol adalah kebutuhan untuk membantu orang lain (need for nurturant) yakni sekitar 82%. Kecendrungan ini menunjukkan bahwa responden memang pantas menjadi guru, yakni senang membantu siswa. Tetapi adanya sebagian kecil guru yang memiliki kecendrungan kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach), kebutuhan untuk tabah bekerja (n-End) kebutuhan akan perubahan (n-Chg) dan kebutuhan untuk otonom yang rendah tidak bisa ditoleransi. Seorang guru sekurang-kurangnya harus memiliki kebutuhan psikogenik yang cukup, bahkan lebih disukai jika mereka memiliki kecendrungan kebutuhan psikogenik yang tinggi.[38]

3) Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial guru adalah kemampuan guru dalam berkomunikasi atau dalam berhubungan dengan para siswa, sesama teman guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, dan dengan anggota masyarakat di lingkungannya. Kompetensi sosial ini diukur dengan menggunakan konsep sosiometrik dari krech (1962), dengan pertimbangan bahwa aspek sosiometrik dapat mengukur tingkat human relation seseorang. Aspek sosiometrik meliputi: keramahan atau persahabatan, simpatik, sikap penerimaan terhadap orang lain, dan sosiabilitas.

Sebagian besar (78%) guru MTs memiliki kompetensi sosial yang cukup baik. Jika dilihat dari setiap aspek sosiometriknya, menunjukkan hasil yang sama, yaitu sebanyak 54-60 persen guru memiliki kompetensi social yang cukup. Tetapi ada sedikit (2-18%) yang memiliki kecendrungan sosiometrik yang cukup, bahkan lebih baik jika mereka memiliki kecendrungan sosiometrik yang tinggi.[39]

4) Kompetensi Keagamaan

Kompetensi keagamaan guru dimaksudkan untuk menyebutkan "komitmen" beragama guru, bias berupa nilai-nilai, sikap-sikap, dan perilaku beragama. Komitmen agama diukur dari ketaatan melaksanakan dan menjauhi larangan Allah, keakraban dengan Al-qur'an-Hadits dan Ulama, kegairahan dalam mempelajari ilmu agama, dan aktivitas dalam kegiatan keagamaan.

Guru agama di MTs secara umum memiliki aktivitas keagamaan yang cukup (64%) dan sisanya (34%) memiliki aktivitas keagamaan yang tinggi. Tidak ada guru PAI di madrasah yang memiliki aktivitas keagamaan yang rendah. Jika dilihat dari setiap aspek kompetensi keagamaan, komitmen terhadap perintah perintah dan larangan agama merupakan aspek religi yang paling baik. Kebanyakan guru (70%) memilki komitmen yang tinggi terhadap perintah dan larangan agama, dan sisanya (34%) memiliki komitmen yang cukup dalam hal ini. Banyak guru (60%) yang cukup memilki gairah yang untuk belajar agama, (34%) memiliki gairah yang tinggi dalam belajar agama, sedangkan (6%) memiliki gairah yang rendah dalam belajar agama. Aktivitas keagamaan dimasyarakat pun―secara umum―cukup baik. Sebagian besar guru memiliki aktivitas keagamaan di masyarakat walaupun ada sebagian yang kurang aktif dalam mengikuti kegiatan keagamaan di masyarakat.

Adapun kecendrungan responden untuk merujuk langsung pada Al-qur'an, kitab Tafsir, kitab Hadits, dan berkonsultasi dengan ulama beragam. Sebagian guru memiliki kecendrungan yang tinggi (34%) menggunakan rujukan Al-qur'an, Hadits, Tafsir dan sebagainya, sebagian memiliki kecendrungan yang cukup (38%), dan sebagian yang lain memiliki kecendrungan yang rendah (28%).

Bagi guru yang lebih cenderung menggunakan rujukan-rujukan Al-qur'an, Hadits, Tafsir, dan konsultasi kepada ulama, mereka layak menjadi guru. Sebaliknya bagi guru yang jarang menggunakan rujukan-rujukan tersebut, tetapi hanya menggunakan buku teks saja, mereka tidak layak menjadi guru agama.[40]

Kompetensi-kompetensi pendidik dapat dilihat melalui pendekatan bayany, burhany, dan ‘irfany.[41]

Pendekatan Bayani

Pendekatan Burhani

Pendekatan ‘Irfani

1. Orang yang menguasai ilmu-ilmu agama.

2. orang yang memahami al-qur’an dan menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya.

3. orang yang memahami hadits dan menguasai ilmu yang berkaitan dengannya.

4. hafidz,mujtahid, fuqoha, teolog.

1. ahli manthiq, ilmuan, fisikawan.

2. peneliti.

3. orang yang punya pola pikir logis-empiris.

1. spiritual-religius.

2. orang yang matang jiwa dan moralnya.

3. mempunyai kepekaan so-sial yang timggi dan terhindar dari sifat cela.

4. orang yang memiliki pengalaman, baik ilmu maupun spiritual.

واختم بأحسن ختام ۞ اذا دانـاالإنـــصرام

وحــان حين الحمــــام ۞ وزاد رشح الجبين

  1. KESIMPULAN

Pada hakikatnya, pendidik yang pertama adalah Allah, karena Allah yang mengajari manusia dari ketidaktahuan, sesuai dengan QS. Al-Baqorah: 32. kedua adalah para Nabi/Rasul. Ketiga adalah orang tua. Keempat adalah guru. Akan tetapi dalam pelaksanaannya orang tualah yang bertanggung jawab terhadap anaknya.

Pendidik merupakan salah satu unsur pendidikan yang dipandang dalam islam sangat tinggi, mempunyai kedudukan yang sangat mulia. Karena Ulama adalah pewaris para nabi, pendidiklah yang meneruskan perjuangan para nabi untuk mengenalkan (mendekatkan) peserta didik kepada Allah SWT.

Selaku pewaris para nabi, tentunya pendidik juga harus mempunyai keagungan akhlak, etika yang luhur, secara tidak langsung pendidik menjadi contoh (uswah) bagi peserta didiknya.

Dalam kaitannya tuntutan tersebut trentunya hanya dapat dipenuhi apabila dalam diri pendidik mempunyai kompetensi-kompetensi yang harus dimilki oleh setiap pendidik, sehingga seorang pendidik dapat berhasil dalam proses belajar dan pembelajaran.

Footnote:

[1] Abdul Mujib, et al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 87.

[2] Hafidz Hasan Al-mas'udi, Taisir Al-khollaq, (Surabaya: Al-miftah), h. 5.

[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam: integrasi jasmani, rohani, dan kalbu memanusiakan manusia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h.170.

[4] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 35.

[5] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 172-173.

[6] QS. al-Tahrim (66): 6.

[7] M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h. 81.

[8] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 39.

[9] H. Muhaimin, el-Hikmah; Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah, (Malang: Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Indonesia Sudan d.h. STAIN Malang, Volume 1 No. 1 2003), h. 10.

[10] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 172.

[11] Muhaimin, Quo Vadis Pendidikan Islam: pembacaan realitas pendidikan islam, social dan keagamaan, (Malang: UIN- Malang Press, . 2006), h. 101.

[12] Ibid., h. 102.

[13] H. Muhaimin, el-Hikmah; Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah, (Malang: Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Indonesia Sudan d.h. STAIN Malang, Volume 1 No. 1 2003), h. 10.

[14] Ibid., h. 10-11.

[15] Ibid., h. 11.

[16] Muhaimin, Quo Vadis Pendidikan Islam: pembacaan realitas pendidikan islam, social dan keagamaan, (Malang: UIN- Malang Press, . 2006), h. 105.

[17] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 177.

[18] QS. al-Baqarah:32

[19] Ibid., h. 178.

[20] Ahmad Al-Hasyimi Bik, Mukhtar Al-hadits An-nabawiyyah, (Surabaya: Al-hidayah), h. 29.

[21] Abdul Mujib, et al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 88.

[22] Ibid., h. 89.

[23] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 218.

[24] Abdul Mujib, et al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 90.

[25] Bahruddin dan Muh. Makin, Pendidikan Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia pendidikan, (Jogjakrta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 185-186.

[26] Abdul Mujib, et al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 92.

[27] Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 22-25.

[28] Tim Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Inovasi Pendidikan Agama dan keagamaan, (Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI), h. 82-83.

[29] Ibid,. h. 83.

[30] Ibid,. h. 84.

[31] Muhaimin, Quo Vadis Pendidikan Islam: pembacaan realitas pendidikan islam, social dan keagamaan, (Malang: UIN- Malang Press, . 2006), h. 101-102.

[32] Hasan, M. Ali dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h. 82-83.

[33] Bahruddin dan Muh. Makin, Pendidikan Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia pendidikan, (Jogjakrta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 181.

[34] Abdul Mujib, et al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 94-95.

[35] Ibid., h. 97.

[36] Tim Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Inovasi Pendidikan Agama dan keagamaan, (Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI), h. 84.

[37] Ibid., h, 84-85.

[38] Ibid., h, 85-86.

[39] Ibid., h. 87.

[40] Ibid., h. 87-89.

[41] M. Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an: integrasi epistemologi bayani, burhani, dan irfani, (Yogyakarta: Mikraj, 2005), h. 183.

0 komentar: