17 November, 2008

Psikologi Pendidikan

TEORI PERKEMBANGAN PSIKODINAMIKA
(Sigmund Freud)


(Ini adalah makalah mata kuliah Perkembangan Peserta Didik)

A.PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Teori psikodinamika adalah teori yang berusaha menjelaskan hakikat dan perkembangan kepribadian. Unsur-unsur yang diutamakan dalam teori ini adalah motivasi, emosi dan aspek-aspek internal lainnya. Teori ini mengasumsikan bahwa kepribadian berkembang ketika terjadi konflik-konflik dari aspek-aspek psikologis tersebut, yang pada umumnya terjadi pada anak-anak dini.
Pemahanan freud tentang kepribadian manusia didasarkan pada pengalaman-pengalaman dengan pasiennya, analisis tentang mimpinya, dan bacaannya yang luas tentang beragam literature ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Pengalaman-pengalaman ini menyediakan data yang mendasar bagi evolusi teorinya. Baginya, teori mengikuti megikuti observasi, dan konsepnya tentang kepribadian terus mengalami revisi selama 50 tahun terakhir hidupnya.
Meskipun teorinya berevolusi, freud menegaskan bahwa psikoanalisis tidak boleh jatuh ke dalam elektisisme, dan murid-muridnya yang menyimpang dari ide-ide dasar ini segera akan dikucilkan secara pribadi dan professional oleh freud.
Freud menganggap dirinya sebagai Ilmuan. Namun, definisinya tentang ilmu agak berbeda dari yang dianut kebanyakan psikolog saat ini. Freud lebih mengandalkan penalaran deduktif ketimbang metode riset yang ketat, dan ia melakukan observasi secara subjektif dengan jumlah sampel yang relative kecil. Dia menggunakan pendekatan studi studi kasus hampir-hampir secara secara ekslusif , merumuskan secara khas hipotesis-hipotesis terhadap fakta-fakta kasus yang diketahuinya.
2.Rumusan Masalah
a.Seperti apa biografi Sigmund Freud?
b.Apa hakikat teori psikodinamika?
c.Bagaimana Struktur kepribadian menurut teori psikodinamika?
d.Bagaimana tahap-tahap perkembangan manusia menurut teori psikodinamika?
e.Bagaimana aplikasi teori psikodinamika terhadap bimbingan?
3.Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini nantinya untuk mengetahui seputar teori psikodinamika terutama teorinya Sigmund Freud, baik dari segi biografinya, hakikat teori psikodinamika, struktur kepribadian dan tahap-tahap perkembangan pribadi manusia, serta aplikasinya.


B.PEMBAHASAN
1.Biografi Sigmun Freud
Sigismund (Sigmund) Freud lahir pada 6 Maret (atau 6 Mei) 1856 di Freiberg, Moravia, sekarang bagian dari republik Cekoslawakia. (Para sarjana tidak ada yang sepakat dengan tanggal lahirnya−diduga dia paling cepat lahir 8 bulan setelah pernikahan orang tuanya).1
Freud adalah putra sulung pasangan Jacob dan Amalie Nathanson Freud, meskipun ayahnya memiliki dua putra lain, Emanuel dan Phillip, dari pernikahan sebelumnya. Jacob dan Amelie memilki tyjuh anak lagi selama sepuluh tahun. Namun, Sigmund tetap menjadi anak favorit ibunya yang masih belia dan penuh pengertian. Inilah yang menjadi sebagian fondasi keyakinan freud seumur hidupnya. Sebagai seorang terpelajar dan berpikiran serius, freud tidak memiliki keakraban hubungan dengan salah satu adik-adiknya. Namun dia menikmati hubungan yang hangat dan penuh pengertian dengan ibunya, ini yang mendorong Freud di tahun-tahun berikutnya untuk mengobservasi bahwa hubungan ibu/anak adalah hubungan yang paling sempurna dan paling bebas dari ambivelensi (perasaan yang bertentangan) disbandingkan dengan semua hubungan antar manusia yang ada.2
Sebagai anak cerdas dan selalu mendapat nilai tinggi dikelasnya, Freud melanjutkan pendidikan ke sekolah kedokteran, salah satu pilihan bergengsi bagi anak-anak Yahudi yang pintar di Wina kala itu. Semasa kuliah, dia terlibat berbagai penelitian di bawah arahan professor fisiologis bernama Ernst Brucke.3
Sebagian hidup Freud diabdikan untuk memformulasikan dan mengembangkan tentang teori psikoanalisisnya. Uniknya, saat ia sedang mengalami problem emosial yang sangat berat adalah saat kreativitasnya muncul. Pada umur paro pertama empat puluhan, ia banyak mengalami berbagai macam psikomatik, juga rasa nyeri akan datangnya maut dan fobi-fobi lain. Dengan mengekplorasi makna mimpi-mimpinya sendiri, ia mendapat pemahaman tentang dinamika perkembangan kepribadian seseorang.4 Freud mengembangkan gagasan-gagasannya tentang teori psikoanalisis dari pekerjaan dengan para pasien mental.5
Sigmund Freud juga dikenal sebagai tokoh yang kreatif dan produktif. Ia sering menghabiskan waktunya 18 jam sehari untuk menulis karyakaryanya, dan karya tersebut berkumpul menjadi 24 jilid. Bahkan ia tetap produktif dimasa usia senja. Karena terkenal itulah, Freud dikenal tidak hanya pencetus psikoanalisis yang mencuatkan namanya sebagai intelektual, tetapi ia juga meletakkan cara baru untuk bisa memahami perilaku manusia.6
Karya pertama Freud adalah On Aphasia, yang diluncurkan pada tahun 1891. Sedangkan seluruh karya Freud terhimpun dalam 23 jilid buku yang diberi judul The Standard Edition of The Complete Psychological Work of Sigmund Freud. Diantara karyanya yang paling menarik adalah The Interpretation of Dreams (1904); The Psychopatology of Everyday Life (1904); yang menjelaskan Freudian Slip dan keganjilan perilaku sehari-hari; Totem and Taboo (1913), yang berisi pendapatnya tentang asal-usul manusia; General Introductory Lectures on Psychoanalysis (1917); Civilization and Its Discontents, yang berisi komentar psimitisnya tentang masyarakat modern; The Future of an Illusion, yang membahas agama; Ego and the Id (1923); New Introductory Lectures on Psychoanalysis (1933); Moses and Monotheism (1939); dan An Out Line Of Psychoanalysis (1940).7
Dalam dunia pendidikan pada masa itu, Sigmund Freud belum seberapa populer. Menurut A. Supratika, nama Freud baru dikenal pertama kalinya dalam kalangan psikologi akademis pada tahun 1909, ketika ia diundang oleh G. Stanley Hall, seorang sarjana psikologi Amerika, untuk memberikan serangkaian kuliah di universitas Clark di Worcester, Massachusetts. Pengaruh Freud di lingkungan psikologi baru terasa sekitar tahun 1930-an. Akan tetapi  Asosiasi Psikoanalisis Internasional sudah terbentuk tahun 1910, begitu juga  dengan lembaga pendidikan psikoanalisis sudah didirikan di banyak negara.
Freud pindah ke Inggris sesaat sebelum Perang Dunia II pecah, karena Wina sudah tidak aman lagi untuk orang Yahudi, khususnya yang terkenal sepeti Freud. Tidak lama setelah itu, dia meninggal di London pada tanggal 23 September 1939 karena kanker mulut dan rahangyang telah didapatnya selama lebih kurang 20 tahun.8

2.Hakikat Teori Psikodinamika
Psikodinamika pada awalnya dikembangkan oleh Sigmund Freud (1974) dan pengikut-pengikutnya. Dikatakan psikodinamik, karena teori ini didasarkan pada asumsi bahwa perilaku berasal dari gerakan dan interaksi dalam pikiran manusia, kemudian pikiran merangsang perilaku dan keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya.9
Teori psikodinamika adalah teori yang berusaha menjelaskan hakikat dan perkembangan kepribadian. Unsur-unsur yang diutamakan dalam teori ini adalah motivasi, emosi dan aspek-aspek internal lainnya. Teori ini mengasumsikan bahwa kepribadian berkembang ketika terjadi konflik-konflik dari aspek-aspek psikologis tersebut, yang pada umumnya terjadi pada anak-anak dini.10
Teori ini mempunyai kesamaan dengan teori belajar dengan teori belajar dalam hal pandangan akan pentingnya pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan (mileu) primer terhadap perkembangan. Perbedaannya adalah bahwa teori psikodinamika memandang komponen yang bersifat sosio-afektif sangat fundamental dalam kepribadian dan perkembangan seseorang. 11
Menurut teori ini, perkembangan jiwa atau kepribadian seseorang ditentukan oleh komponen dasar yang bersifat sosio-efektif, yakni ketegangan yang ada di dalam diri seseorang itu ikut menentukan dinamikanya ditengah-tengah lingkungannya.12
Menurut salah satu teori psikodinamaika yang terkenal, yaitu teori Freud (Sigmund Freud), maka seseorang anak dilahirkan dalam dua macam kekuatan (energi) biologis, yaitu libio dan nafsu mati, yang mana kekutan ini menguasai semua orang atau semua benda yang berarti bagi anak yang melalui proses yang disebut kathesis yang berarti konsentrasi energi psikis terhadap suatu objek atau suatu ide yang spesifik, atau terhadap satu person yang spesifik.13

3.Struktur Kepribadian
Freud (1917) yakin bahwa kepribadian memiliki tiga (3) struktur: id, ego, dan superego.14
a.Id (Das Es)
Struktur anak pada waktu dilahirkan adalah apa yang disebut Id (Das Es). Id merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata benda impersonal yang berarti “The it” (sang itu), komponen kepribadian yang belum dimiliki.15 Id adalah struktur kepribadian menurut freud yang terdiri atas naluri (instinct), yang merupakan gudang energi psikis individu. Dalam pandangan Freud, id tidak secara total; id tidak memiliki kontak dengan realitas.16 Id ini yang mendorong anak untuk memuaskan nafsu-nafsunya (prinsip kenikmatan),17 yaitu mencari keenakan dan menghindarkan diri dari ketidakenakan.
Seorang yang baru lahir adalah personifikasi sebuah id yang belum terbebani oleh pembatasan-pembatasan ego dan superego. Bayi mencari pemuasan kebutuhan tanpa peduli dengan apakah boleh diwujudkan (wilayah-wilayah tuntutan ego) atau apakah pantas (wilayah-wilayah pembatasan superego). Dia selalu mengisap entah putting ibunya memiliki air susu atau tidak dan memperoleh kenikmatan dari kedua situasi tersebut. Meskipun bayi menerima makanan penunjang kehidupan hanya dengan mengisap puting yang memiliki air susu. Namun, dia terus mengisap karena id-nya tidak bersentuhan dengan realitas ada tidaknya air susu dalam putting ibu. Bayi bahkan gagal menyadari bahwa perilaku mengisap jempol tangan tidak dapat membuatnya mempertahankan hidup. Karena id tidak memiliki kontak langsung dengan realitas, dia tidak bisa dirubah entah oleh perjalanan waktu atau oleh pengalaman-pengalaman pribadi. Dan impuls-impuls (dorongan) harapan kanak-kanak ini masih tetap tidak berubah dalam id selama berdekade-dekade kehidupan si anak berikutnya.18
Selain tidak relistis dan mencari kesenangan, id juga tidak logis dan dapat melayani secara bersamaan ide-ide yang tidak bersesuaian. Contohnya: seorang perempuan mungkin menunjukkan kasih sayang yang disadari terhadap ibunya serta mengharapkan tanpa sadar kehancuran sang ibu. Hasrat-hasrat yang saling bertentangan ini dapat muncul karena id tidak memilki moralitas di dalamnya. Artinya, dia tidak membuat penentuan nilai atau membedakan baik dan buruk. Namun, id bukan immoral (menyalahi moral), tepatnya ia amoral (tidak bersangkut paut dengan moral). Semua energy id dihabiskan hanya untuk satu tujuan saja−mencari kesenangan tanpa peduli apa yang pantas atau benar.19
Id adalah sesuatu yang primitive/purba, khaos, dan tidak terakses oleh alam sadar, tidak dapat diubah, amoral, tidak logis, tidak terorganisasikan dan selalu dipenuhi energy yang diterimanya dari dorongan-dorongan dasar menuju pemuasan prinsip kesenangan.
Sebagai wilayah yang menjadi rumah bagi dorongan-dorongan dasar (motif-motif primer), pengoperasian id disebut Proses primer. Namun, karena dia mencari dengan membabi buta pemuasan prinsip kesenangan, kelangsungan hidupnya bergantung penuh terhadap perkembangan proses skunder yang membawanya untuk melakukan kontak dengan dunia eksternal. Proses eksternal berfungsi melalui ego.
b.Ego (Das Ich)
Ego adalah struktur keribadian menurut freud yang berurusan dengan tuntutan realitas. Ego disebut badan pelaksana (Executive Branch) kepribadian, karena ego membuat keputusan-keputusan rasional. Id dan ego tidak memiliki moralitas, id dan ego tidak memperhitungkan apakah sesuatu benar atau salah.20
Ego atau “I” (sang aku), adalah satu-satunya wilayah jiwa yang berhubungan dengan realitas. Ia tumbuh dari id selama masa bayi dan menjadi satu-satunya sumber komunikasi seseornag dengan dunia eksternal. Dia diatur oleh prinsip realitas yang berusah menjadi substitusi bagi prinsip kesenangan id. Karena dia sebagian sadar, sebagian ambang sadar, dan sebagian bawah sadar, ego dapat membuat keputusan dari masing-masing dari ketiga tingkatan mental ini. Contohnya, ego seorang perempuan mungkin secara sadar memotivasi dia untuk memilih pakaian yang rapid an dijahit dengan baik karena dia merasa nyaman jika mengenakan pakaian yang bagus. Pada waktu yang bersamaan, dia bisa saja menyadari secara samar-samar (yaitu secara ambang sadar) mengenai pengalaman-pengalaman sebelumnya yang membuatnya yang membuatnya dihargai karena memilih pakaian yang bagus. Selain itu, dia juga bisa termotivasi oleh bawah sadarnya untuk menjadi sangat rapi dan tertib kerena pengalaman-pengalaman latihan−penggunaan−toilet (toilet training) pada masa kanak-kanak. Kalu begitu, keputusannya untuk mengenakan pakaian yang rapi lahir dari ketiga tingkat kehidupan mentalnya tersebut.21
Ketika mengenakan fungsi-fungsi kognitif dan intelektualnya, ego harus mempertimbangkan berbagai tuntutan dari id dan super ego yang tidak bersesuaian dan sama-sama tidak realistis. Menurut freud, ego menjadi terbedakan dari id ketika bayi mulai belajar membedakan diri mereka dari dunia luar. Ketika id masih tetap tidak mau beruabah, ego mulai mengembangkan sejumlah strategi untuk menghadapi tuntutan id yang tidak relistik dan tidak pantang menyarah terhadap kesenangan. Pada saat-saat tertentu, ego dapat mengontrol id yang sangat kuat dan selalu mencari kesenangan itu. Namun, pada saat-saat lain ego kehilangan kekuatan pengontrolnya.
Untuk membandingkan ego dan id, freud menggunakan analogi seorang yang sedang menunggangi seekor kuda. Si enunggang sanggup mengarahkan dan mengendalikan kekuatan kuda yang jauh lebih besar, namun, jika si kuda menunjukkan kemurahhatian untuk menuruti perintahnya.
Seperti halnaya anak-anak yang mendapatkan hadiah dan hukuman orang tua, mereka mulai belajar apa yang harus dilakukan untuk memperoleh kesenangan dan menghindari rasa sakit. Di usia yang masih belia ini, kesenagan dan rasa sakit merupakan fungsi-fungsi ego yang utama karena anak-anak belum mengembangkan suara hati nurani (conscience) dan ideal ego (ego-ideal): itulah super ego. Ketika anak-anak memasuki usia 5 atau 6 tahun, mereka mulai mengidentifikasi diri dengan orang tua mereka dan belajar apa yang boleh dilakukan, inilah asal-usul superego.
c.Superego (Das Ueber Ich)
Superego adalah struktur kepribadian freud yang merupakan badan moral kepribadian dan benar-benar memperhitungkan apakah sesuatu benar ataukah salah. Anggaplah superego adalah sesuatu yang selalu kita rujuk sebagia “hati nurani (consciense)” kita. Anda mungkin mulai merasa bahwa baik id maupun superego menyebabkan kehidupan kasar bagi ego, ego anda barang kali mengatakan, “aku akan melakukan hubungan seks kadang-kadang saja dan memastikan untuk menggunakan alat pencegahan kehamilan yang tepat, karena aku tidak ingin gangguan anak dalam perkembangan karirku.” Akan tetapi, id anda mengatakan “aku ingin dipuaskan; seks itu nikmat.” Superegosedang bekerja juga: “aku merasa bersalah kalau melakuakan hubungan seks.”22
Ada dua aspek superego: pertama adalah nurani (conscience), yang merupakan internalisasi dari hukuman dan peringatan. Sementara yang kedua disebut ego ideal. Ego ideal berasal dari pujuan-pujian dan cotoh-contoh positif yang diberikan kepada anak-anak.23
Freud melihat kepribadian seperti suatu gunung es; kebanyakan kepribadian terdapat dibawah tingkat kesadaran kita, sama seperti bagian terbesar dari suatu gunung es yang terdapat dibawah gunung es.
Bagaiman Ego mengatasi konflik antara tuntutan realitas, keinginan id, dan hambatan superego?
a.Dengan melalui mekanisme pertahanan (defense mechanism) yaitu istilah psikoanalisis bagi metode ketidaksadaran, ego membelokkan atau mendistorsi realitas, dengan demikian melindunginya dari kecemasan. Dalam pandangan Freud, tuntutan-tuntutan struktur kepribadian yang saling bertentangan menimbulkan kecemasan. Misalnya, ketika ego menghambat atau memblok pengejaran id akan kenikmatan, kecemasan yang lebih dalam (inner anxiety) dirasakan. Keadaan tertekan berkembang ketiak id sedang membahayakan individu. Kecemasan mengingatkan atau mengirim sinyal kepada ego untuk mengatasi konflik melalui alat mekanisme pertahanan.
b.Represi (represion) ialah mekanisme pertahanan yang paling kuat dan paling meresap (the most powerful and pervasive ); represi bekerja menolak dorongan-dorongan id yang tidak diinginkan di luar kesadaran dan kembali ke pikiran tidak sadar. Represi adalah landasan dari mana semua mekanisme pertahanan lain bekerja; tujuan setiap mekanisme pertahanan ialah menekan (repress), atau menolak keinginan-keinginan yang mengancam di luar kesadaran. Freud mengatakan bahwa pengalaman masa anak-anak, sebagian besar diantaranya ia yakini sarat secara seksual (sexsually laden), cukup mengancam dan menekan kita untuk mengatasinya secara sadar. Kita mengurangi kecemasan akibat konflik ini melalui mekanisme pertahanan represi.
Freud yakin bahwa kita melampaui lima tahap perkembangan psikoseksual dan bahwa setiap tahap perkembangan tersebut kita mengalami kenikmatan pada satu bagian tubuh lebih dari pada bagian tubuh yang lain. Erogenous zones adalah bagian tubuh yang yang mengalami kenikmatan khusus yang sangat kuat yang memberi kualitas pada setiap tahap perkembangan.24

4.Tahap-tahap Perkembangan
Dalam teori Freud hasrat seksual adalah motivasi paling penting. Menurut dia, hasrat seksual adalah motivasi paling dasar bukan saja bagi orang dewasa, tapi juga bagi anak-anak dan bayi. Saat dia dia memperkenalkan gagasannya tentang seksualitas bayi ke public wina, public menanggapi lebih sebagai seksualitas orang dewasa.
Kapasitas mencapai orgasme memang sudah ada secara neurologis semenjak lahir. Tetapi freud tidak hanya berbicara tetang orgasme. Seksualitas bukan hanya berarti hubungan kelamin, akan tetapi sensasi kenikmatan yang lahir dari persentuhan kulit juga didalamnya. Kita lihat bayi, anak-anak, dan orang dewasa sangat menikmatai belaian, ciuman, dan lain sebagainya.25
Freud mencatat bahwa di usia-usia tertentu, beberapa bagian dari kulit kita dapat menimbulkan yang lebih besar dibanding bagian kulit yang lain. Teoritikus pada era selanjutnya menyebut bagian kulit ini dengan daerah erogen (erogeneus). Menurut freud, bayi mendapat kenikmatan tertinggi ketika menghisap, khususnya ketika menyusu pada ibunya. Seperti kita lihat, bayi sangat senang memasukkan benda-benda yang dia pegang ke mulutnya. Di usia berikutnya, dia sampai pada tahap kenikmatan anal, yaitu memegang dan melepaskan benda yang ada pada tangannya. Di usia 3 atau 4 tahun, dia akan menemukan kenikmatan ketika menyentuh alat kelaminnya. Barulah kemudian, di saat perkembangan seksual sudah mencapai kematangan, kita menemukan kenikmatan paling tinggi dalam berhubungan seksual. Berdasarkan pengamatan inilah Freud membuat teori tahap perkembangan kepribadian atau psikoseksual.26
Tahap-tahap perkembangan kepribadian itu adalah:
a.Tahap oral atau tahap mulut
Tahap ini berlangsung dari usia 0 sampai 18 bulan. Titik kenikmatan terletak pada mulut, di mana aktivitas paling utama adalah Mengunyah, menghisap dan menggigit. Tindakan-tindakan ini mengurangi tekanan/ketegangan pada bayi.
b.Tahap anal
Tahap ini ini berlangsung antara usia 1 dan 3 tahun. Titik kenikmatan terbesar terletak pada lubang anus, atau fungsi pengeluaran yang diasosiasikan dengannya. Dalam pandangan Freud, latihan otot lubang dubur mengurangi tekanan/ketegangan.
c.Tahap phallic
Phallic berasal dari bahasa latin phallus yang berarti alat kelamin laki-laki. Tahap ini berlangsung dari usia 3 dan 6 bulan. Titik kenikmatan terletak pada alat kelamin, ketika anak menemukan bahwa manipulasi (self manipulation) diri dapat memberi kenikmatan.
Dalam tahap ini, Freud berpandangan bahwa bahwa tahap phallic memiliki kepentingan khusus dalam perkembangan kepribadian. Karena selama periode inilah Oedipus complex muncul. Istilah ini berasal dari mitologi Yunani, di mana Oedipus, putra Raja Thebes, tanpa sengaja membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Oedipus complex adalah konsep Freud dimana anak kecil mengembangkan suatu keinginan yang mendalam untuk menggantikan orang tua yang sama jenis kelamin dengannya dan menikmati afeksi dari orang tua yang berbeda jenis kelamin dengannya. Tetapi konsep ini dikecam oleh beberapa pakar psikoanalisis dan penulis.
Pada usia kira-kira 5 hingga 6 tahun, anak-anak menyadari bahwa orang tua yang sama jenis kelamin dengannya dapat menghukum mereka atas keinginan incest mereka (incestuous wishes). Untuk mengurangi konflik ini, anak mengidentifikasikan diri dengan orang tua yang sama jenis kelamin dengannya, dengan berusaha keras menjadi seperti orang tua yang sama jenis kelamin dengannya itu. Namun, bila konflik tidak teratasi, individu dapat terfiksasi pada tahap phallic.
d.Tahap laten
Tahap ini ini berlangsung antara usia 6 tahun dan masa pubertas. Anak menekan semua minat terhadap seks dan mengembangkan keterampilan social dan intelektual. Kegiatan ini menyalurkan banyak energy anak ke dalam bidang-bidang yang aman secara emosional dan menolong anak melupakan konflik pada tahap phallic yang sangat menekan.
e.Tahap kemaluan
Tahap ini berawal dari masa pubertas dan seterusnya. Tahap kemaluan ialah suatu masa kebangkitan seksual. Sumber kenikmatan seksual sekarang adalah seseorang yang berada di luar keluarga. Freud yakin bahwa konflik yang tidak teratasi dengan orang tua terjadi kembali selama masa remaja. Bila teratasi, individu mampu mengembangkan suatu hubungan cinta yang dewasa yang berfungsi secara mandiri sebagai seorang dewasa.27

5.Aplikasi Teori Freud dalam Bimbingan
Apabila menyimak konsep kunci dari teori kepribadian freud, maka ada beberapa teorinya yang dapat diaplikasikan dalam bimbingan, yaitu: Pertama, konsep kunci bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dan keinginan. Dengan demikian,konselor dalam memberikan bimbingan harus selalu berpedoman kepada apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan oleh yang diberikan konseling, sehingga bimbingan benar-benar efektif.28 Adapun fungsi-fungsi bimbingan antara lain:
a.Memahami Individual
Seorang guru dan pembimbing dapat memberikan bantuan yang efektif jika mereka dapat memahami dan mengerti persoalan, sifat, kebutuhan, minat, dan kemampuan anak didiknya. Karena itu, bimbingan yang efektif menuntut secara mutlak pemahaman diri anak secara menyeluruh. Karena tujuan bimbingan dan pendidikan dapat dicapai jika programnya didasrkan atas pemahaman diri anak didiknya.
b.Preventif dan Pengembangan Individual
Preventif dan pengembangan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Preventive berusaha mencegah kemerosotan perkembangan seseorang dan minimal dapat memelihara apa yang telah dicapaidalam perkembangannya melalui pemberian pengaruh-pengaruh yang positif, memberikan bantuan untuk mengembangkan sikap dan pola perilaku yang dapat membantusetiap individu untuk mengembangkan dirinya secara optimal.
Membantu individu untuk menyempurnakan setiap manusia pada saat tertentu membutuhkan pertolongan dalam menghadapi lingkungannya. Bimbingan dapat memberikan pertolongan pada anak untuk mengadakan pilihan yang sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
Kedua, konsep teori tentang kecemasan yang dimiliki seseorang dapat digunakan sebagai wahana pencapaian tujuan bimbingan, yaitu membantu individu supaya mengerti diri dan lingkungannya, mampu memilih, memutuskan dan merencanakan hidup secara bijaksana mampu mengembangkan kemampuan dan kesanggupan, memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya, mampu mengelola aktivitas sehari-hari dengan baik dan bijaksana, mampu memahami dan bertindak sesuai dengan norma agama, social dalam masyarakatnya.
Ketiga, konsep teori psikoanalisis yang menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil) terhadap perjalanan manusia. Dalam system pembinaan akhlak individual, islam menganjurkan agar keluarga dapat melatih dan membiasakan anak-anknya agar dapat tumbuh kembang sesuai dengan norma agama dan social. Bila sebuah keluarga mampu memberikan bimbingan yang baik, maka kelak anak itu diharapkan akan tumbuh menjadi manusia yang baik.
Keempat, teori freud tentang tahapan perkembangan kepribadian individu dapat digunakan dalam proses bimbingan, baik sebagai materi maupun pendekatan. Konsep ini memberikan arti bahwa, materi, metode, dan pola bimbingan harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kepribadian individu,karena pada setiap tahapan itu memiliki karakteristik dan sifat yang berbeda.
Kelima, konsep freud tentang ketidaksadaran dapat digunakan dalam proses bimbingan yang dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi impuls-impuls dorongan id yang bersifat irrasional sehingga berubah menjadi rasional.29


C.KESIMPULAN
Teori psikodinamika dicetuskan oleh Sigmund Freud. Dia berpendapat bahwa perkembangan jiwa atau kepribadian seseorang ditentukan oleh komponen dasar yang bersifat sosio-efektif, yakni ketegangan yang ada di dalam diri seseorang itu ikut menentukan dinamikanya ditengah-tengah lingkungannya.
Sehingga freud membagi struktur kepribadian atau jiwa seseorang menjadi tiga yaitu:
a)Id (das es) bisa dikaitkan dalam islam dengan nafsu.
b)Ego (das ich) bisa disebut juga dengan akal.
c)Superego (das ueber es) bisa disebut dengan hati nurani.
Setelah membagi struktur jiwa manusia kedalam tiga struktur, freud membagi tahapan-tahan perkembangan manusia menjadi lima. Yaitu, fase oral, fase anal, fase phallic, fase laten, dan fase kemaluan.
Fase-fase inilah yang menjadi dasar perkembangan manusia bagi teori psikodinamika. Dalam aplikasi teori, ada lima teori yang bisa menjadi pengelolaan pendidikan yaitu, Pertama, konsep kunci bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dan keinginan. Kedua, konsep teori tentang kecemasan yang dimiliki seseorang. Ketiga, konsep teori psikoanalisis yang menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil) terhadap perjalanan manusia. Keempat, teori freud tentang tahapan perkembangan kepribadian individu. Kelima, konsep freud tentang ketidaksadaran.


D.DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi,. Munawar Sholeh. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta.

Boeree, C. George. 2005. Sejarah Psikologi: dari masa kelahiran sampai masa modern, (diterjemahkan oleh Abdul Qodir Shaleh). Jogjakarta: Prismasophie.

F.J. Monks,. A.M.P. Knoers. 2004. Ontwikkelings Psychologie (diterjemahkan oleh Siti Rahayu Haditomo). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

http://blogs.unpad.ac.id/teguhaditya Akses 18/10/2008.

Jess Feist,. Gregory J. Feist. 2008. Theories of Personality (diterjemahkan oleh Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development, (diterjemahkan oleh Achmad Chusairi dan Juda Danamik). Jakarta: Erlangga.

Zaviera, Ferdinan. 2007. Teori Kepribadian Sigmund Freud. Jogjakarta: Prismasophie.

16 Oktober, 2008

Kolom Pendidikan

Konsep Pendidik dalam Perspektif Islam


A. Latar Belakang

Pendidik merupakan salah satu unsur pendidikan yang banyak memegang peran dan ikut andil dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan. Tercapai tidaknya tujuan pendidikan dipengaruhi pula oleh pendidik, atau bisa dikatakan pendidik adalah Central of Education.

Teori-teori tentang pendidik, banyak dikemukakan oleh pemikir-pemikir barat. Padahal islam juga mempunyai pandangan tentang pendidik yang tidak kalah dengan teorinya orang barat. Yang semua itu bisa menjadi bukti bahwa pemikir islam bukan pengadobsi pemikiran orang barat.

Selama ini islam hanya dipandang sebagai pengikut (ma’mum) adanya kemajuan dari barat. Apabila ditelaah lebih jauh, ternyata konsep yang diberikan islam tentang pendidik lebih baik dibandingkan konsep barat. Konsep barat dipandang kering dari unsur religi, karena mereka tidak memberikan unsur-unsur spiritual untuk perubahan akhlak peserta didiknya.

Akan tetapi, kenapa selama ini pendidikan islam masih kalah kualitasnya dari pendidikan barat?. Untuk itu, perlu dikaji sejauh manakah islam memandang seorang pendidik, demi kemajuan pendidikan islam.



  1. PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidik dalam Pendidikan Islam

Pendidik dalam islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).[1]

Dalam Kitab Taisir Al-khollaq dijelaskan pengertian pendidik yaitu:

المعلم دليل التلمذ الى ما يكون به كماله من العلوم والمعرفة. فيشترط ان يكون من ذوى الاوصاف المحمودة, لأن روح التلميذ ضعيفة بالنسبة الى روحه, فاذا تصف المعلم باوصاف الكمال كان التلميذ الموفق كذ لك. [2]

Di dalam ilmu pendidikan, yang dimaksud pendidik ialah semua yang mempengaruhi perkembangan seseorang, yaitu manusia, alam, dan ke-budayaan.[3] Pengertian ini lebih luas dari pengertian yang diberikan oleh pendidikan islam.

Setelah mengetahui pengertian tersebut, siapakah sebenarnya pendidik itu?. Dalam islam, orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.[4]

Orang tua bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anaknya. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: Pertama, karena kodrat yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang yang berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga.[5]

Firman allah SWT:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.[6]

Akan tetapi tidak selamanya orang tua dapat memberikan bimbingan terus terhadap anak-anaknya, untuk itu dibutuhkan seorang guru. Walaupun telah dibantu seorang guru, orang tua tidak bisa lepas dari tanggung jawab mendidik anaknya.

Pengertian guru secara terbatas adalah sebagai satu sosok individu yang berada di depan kelas.[7] Guru adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul dipundak orang tua.[8] Dengan demikian guru adalah orang tua kedua ketika berada di sekolahan.

B. Istilah-Istilah Pendidik dalam Perspektif Pendidikan Islam

Dalam literatur pendidikan islam seorang pendidik (guru) dapat di sebut sebagai ustadz, mu’allim, murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu’addib.[9] Al-Ghozali menambahkan dengan al-Walid (orang tua).[10]

Kata “ustadz” biasa digunakan untuk memanggil seorang profesor; ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya.[11]

Kata “muallim” berasal dari kata dasar ‘ilm yang berarti menangkap sesuatu. Dalam setiap ‘ilm terkandung dimensi teoritis dan dimensi amaliah (al-asfahani). Allah mengutus rasul-Nya antara lain agar Beliau mengajarkan (ta’lim) kandungan al-kitab dan al-hikmah yakni kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal yang mendatangkan manfaat dan menampik madlarat.[12]

Kata “murabby” berasal dari kata dasar “Rabb”. Tuhan adalah sebagai Rabb al-‘alamin dan Rabb al-nas, yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya termasuk manusia. Manusia sebagai khalifahnya diberi tugas untuk menumbuh kembangkan kreativitasnya agar mampu mengkreasi, mengatur dan memelihara alam seisinya. Dilihat dari pengertian ini, maka tugas guru adalah mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan mala petaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya.[13]

Kata “Mursyid” biasa digunakan untuk guru dalam Thariqah (tasawuf). Seorang Mursyid (guru) berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan kepribadiannya kepada peserta didiknya, baik yang berupa etos ibadahnya, etos kerjanya, etos belajarnaya, maupun dedikasinya yang serba Lillahi Ta’ala (karena mengharapkan ridla Allah semata). Dalam konteks pendidikan mengandung makna bahwa guru merupakan model atau sentral identifikasi diri, yakni pusat anutan dan teladan bahkan konsultan bagi peserta didiknya.[14]

Kata mudarris berasal dari akar kata “darasa - yadrusu - darsan wa durasan wadirasatan”, yang berarti: terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih, mempelajari. Dilihat dari pengertian ini, maka tugas guru adalah berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih ke-trampilan mereka sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.[15]

Sedangkan kata “mu’addib” berasal dari kata ‘adab, yang berarti moral, etika, dan adab atau kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir dan batin. Kata peradaban dalam bahasa Indonesia juga berasal dari kata dasar ‘adab. Sehingga guru adalah orang yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization).[16]

C. Kedudukan Pendidik dalam Islam

Salah satu hal yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat dibawah kedudukan Nabi dan Rasul. Penghargaan Islam yang tinggi kepada guru tidak bisa dilepaskan karena islam menghargai ilmu pengetahuan.[17]

Hadits Rosulullah SAW: Ulama ialah pewaris para Nabi. (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).

Ada penyebab khusus mengapa orang Islam amat menghargai guru, yaitu pandangan bahwa ilmu pengetahuan itu semuanya bersumber dari tuhan. Firman Allah:

(#qä9$s% y7oY»ysö6ß Ÿw zNù=Ïæ !$uZs9 žwÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ

“Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [18]

Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, sebagaimana dikutip al-Abrasyi mengatakan: “Seseorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan ilmunya itu. Dialah yang bekerja dibidang pendidikan. Sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang terhormat dan yang sangat penting, hendaknya ia memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya ini”.[19]

Dalam kitab Taisir Al-khollaq hal. 6, Karangan syaikh Hafid Husain al-mas’udi, diterangkan bahwa seorang peserta didik hendaknya mempercayai keutamaan guru itu lebih besar dari pada keutamaan orang tua, dikarenakan pendidik (guru) adalah yang mendidik ruhaninya.

Hadits Nabi Muhammad SAW tentang keutamaan seorang guru:

أغْدُ عَالِمًا, أَو مُتَعَلِّمًا, أَوْ مُسْتَمِعًا, أَوْ مُحِبًّا, وَلاَ تَكُنْ الْخَامِسَ فَتَهْلَكَ. (رواه البيهقى) [20]

“ Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pencinta, dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima, sehingga engkau menjadi rusak”.

Dalam hadits Nabi SAW yang lain: “Tinta seorang Ilmuwan (yang menjadi guru) lebih berharga ketimbang darah para Syuhada”.[21]

Andaikata di Dunia tidak ada pendidik, niscaya manusia seperti binatang, sebab: “pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia keluar dari sifat kebinatangan (baik binatang jinak maupun binatang buas) kepada sifat insaniyah dan ilahiyah.[22]

D. Tugas dan Peran Pendidik

Sebagian ahli dan pemerhati pendidikan berpandangan bahwa guru merupakan unsur determinan pendidikan yang paling utama. Pandangan ini melahirkan pola pendidikan teacher centered, guru adalah sentral proses pendidikan. Sebaliknya sebagian berpandangan bahwa anak didik/siswalah yang menjadi unsur determinan pendidikan. Pandangan ini mengimplikasikan pola pendidikan student centered, anak didik merupakan sentral orientasi dalam proses pendidikan.[23]

Menurut al-Ghozali, tugas pendidik yang utama adalah me-nyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri (Taqorrub) kepada Allah SWT. hal tersebut karena tujuan Pendidikan Islam yang utama adalah upaya mendekatkan diri kepada-Nya.[24]

Menurut Ki Hajar Dewantara, mengatakan bahwa tugas seorang pemimpin (guru) adalah ing ngarso sung tulada (didepan memberi teladan), ing madya mbangun karsa (ditengah membangun semangat), dan tut wuri handayani (dibelakang memberi pengaruh).[25]

Muhaimin secara utuh mengemukakan tugas-tugas pendidik dalam pendidikan islam. Dapat dilihat dalam bagan dibawah ini:

NO.

PENDIDIK

KARAKTERISTIK DAN TUGAS

1

Utadz

Orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif , komitmen, terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement.

2

Mu’allim

Orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi (amaliah).

3

Murabby

Orang yang mendidik dan mempersiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.

4

Mursyid

Orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya.

5

Mudarris

Orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai minat, bakat, dan kemampuannya.

6

Mu’addib

Orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas dimasa depan.

Dari tabel diatas, tugas-tugas pendidik sangat amat berat, yang tidak saja melibatkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan kemampuan psikomotorik.[26]

Terdapat beberapa peran guru dalam pembelajaran tatap muka yang dikemukakan oleh Moon, yaitu sebagai berikut:

1) Guru sebagai perancang pembelajaran (Designer of Instruction).

Guru dapat merancang dan mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efisien.

2) Guru sebagai pengelola pembelajaran (Manager of Instruction).

Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan meng-gunakan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.

3) Guru sebagai pengarah pembelajaran.

Hendaknya guru senantiasa berusaha menimbulkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar.

4) Guru sebagai Evaluator (Evaluator of Student Learning).

Evaluasi fungsinya sebagai penilaian hasil belajar peserta didik, informasi yang diperoleh melaui evaluasi ini akan menjadi umpan balik terhadap proses pembelajaran. Umpan balik akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran selanjutnya.

5) Guru sebagai Konselor.

Sebagai konselor guru diharapkan akan dapat merespons segala masalah tingkah laku yang terjadi dalam proses belajar.

6) Guru sebagai pelaksana kurikulum.

Sebagai pelaksana kurikulum tentunya guru sebagai orang yang bertanggung jawab dalam upaya mewujudkan segala sesuatu yang telah tertuang dalam suatu kurikulum resmi. Bahkan pandangan mutakhir menyatakan bahwa meskipun suatu kurikulum itu bagus, namun berhasil atau gagalnya kurikulum tersebut pada akhirnya terletak di tangan pribadi guru.[27]

E. Kompetensi Guru

Sebagai pihak yang bertindak sebagai transfer of knowledge dan fasilitator para siswa di sekolah, tenaga pendidik (guru) merupakan profesi yang mutlak membutuhkan persyaratan kemampuan (kompetensi). Hal ini sesuai dengan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemempuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.[28]

Kompetensi guru merupakan syarat utama dalam proses pembelajaran. Kompetensi disini didefenisikan sebagai pemilikan pengetahuan (konsep dasar keilmuan), keterampilan yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dilapangan, dan kemampuan sebagai duru dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi ini meliputi kompetensi professional, kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan ditambah dengan kompetensi keagamaan. Penelitian Puslitbang Penda dilakukan di 10 kota atau kabupaten se-Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta dengan jumlah responden 96 guru mata pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Tsanawiyah. Penelitian ini megukur kompetensi professional, kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi keagamaan guru agama di MTs.[29]

1) Kompetensi Profesional

Kompetensi professional adalah kemampuan guru dalam penguasaan bahan ajar secara penuh dan juga cara-cara mengajarnya secara pedagogis dan metodis. Kompetensi ini diukur melalui wawasan kependidikan, keterampilan PBM dan evaluasi hasil belajar, serta pengetahuan tentang materi pelajaran.[30]

Pendidik diharapkan mempunyai sikap profesional, sikap professional akan menimbulkan semangat dalam diri pendidik untuk terus berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan.

Seseorang dikatakan profesional bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya dimasa depan.[31]

Profesional, jelas berkaitan dengan kemampuan fungsional seorang guru untuk memahami, bersikap, menilai, memutuskan, atau bertindak didalam kaitan tugasnya. Profesional itulah yang akan menjadi kekuatan untuk mencapai hasil-hasil pendidikan dengan kualitas yang baik.[32]

Di zaman yang menghargai profesionalisme ini, guru sebagai tenaga profesional dibidang pendidikan mengalami nasib yang kurang menguntungkan. Sedangakan realitas menunjukkan bahwa ia telah melahirkan banyak orang yang cerdik pandai, diplomat, politikus, menteri, bahkan presiden sekalipun kiranya tidak akan pernah ada tanpa ada eksistensi guru. Fenomena ini mengedam karena tuntutan manusiawi dan profesionalisnya belum diperhatikan secara baik.[33]

Pendidik yang profesional harus memiliki kompetensi-kompetensi yang lengkap, meliputi:

a. Penguasaan materi al-Islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang yang menjadi tugasnya.

b. Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode, dan teknik) pendidikan islam, termasuk kemampuan evaluasinya.

c. Penguasaan ilmu dan wawasan kependidikan.

d. Memahami prinsip-prinsip dalam menafsirkan hasil penelitian pendidikan, guna keperluan pengembangan pendidikan islam masa depan.

e. Memiliki kepekaaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya.[34]

Selain sikap professional pendidik juga harus mempunyai kode etik dalam proses belajar mengajar maupun terhadap lingkungan pendidikannya. Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan (hubungan relationship) antara pendidik dan peserta didik, orang tua peserta didik, koleganya, serta dengan atasannya.[35]

Kompetensi professional guru agama (Aqidah Akhlak) di madrasah masih rendah. Hal ini didasarkan pada data penelitian bahwa kebanyakan (56%) guru memiliki penguasaan wawasan kependidikan rendah sekali. Dalam hal penguasaan PBM dan evaluasi hasil belajar, guru juga masih belum professional. Banyak guru (76%) juga tidak menguasai PBM dan evaluasi hasil belajar. Dalam hal penguasaan materi pelajaran Akidah Akhlaq-pun sebenarnya masih kurang. Namun masih banyak guru (64%) yang cukup menguasai materi pelajaran.[36]

2) Kompetensi Personal

Kompetensi personal guru berkaitan dengan potensi-potensi psikologis guru untuk tugas-tugas kependidikan. Sukmadinata merinci kompetensi personal menjadi tiga cakupan, yaitu: (1) penampilan sikap positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan; (2) pe-mahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dimilki guru; dan (3) penampilan sebagai upaya menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya.[37]

Kompetensi pribadi guru ini diukur melalui kebutuhan psikogenik yang meliputi need for achievement yakni kebutuhan untuk berprestasi, need for nurturant yakni kebutuhan untuk membantu orang lain, need for change yakni kebutuhan untuk berubah, dan need for autonomy yaitu kebutuhan untuk otonom.

Kebanyakan guru MTs (66%) memiliki kebutuhan psikogenik yang cukup. Hanya sebagian guru (20%) yang memilki kebutuhan psikogenik tinggi, dan sebagian kecil guru (14%) memiliki kebutuhan psikogenik rendah. Jika dilihatdari setiap komponen dari aspek ini, yang paling menonjol adalah kebutuhan untuk membantu orang lain (need for nurturant) yakni sekitar 82%. Kecendrungan ini menunjukkan bahwa responden memang pantas menjadi guru, yakni senang membantu siswa. Tetapi adanya sebagian kecil guru yang memiliki kecendrungan kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach), kebutuhan untuk tabah bekerja (n-End) kebutuhan akan perubahan (n-Chg) dan kebutuhan untuk otonom yang rendah tidak bisa ditoleransi. Seorang guru sekurang-kurangnya harus memiliki kebutuhan psikogenik yang cukup, bahkan lebih disukai jika mereka memiliki kecendrungan kebutuhan psikogenik yang tinggi.[38]

3) Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial guru adalah kemampuan guru dalam berkomunikasi atau dalam berhubungan dengan para siswa, sesama teman guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, dan dengan anggota masyarakat di lingkungannya. Kompetensi sosial ini diukur dengan menggunakan konsep sosiometrik dari krech (1962), dengan pertimbangan bahwa aspek sosiometrik dapat mengukur tingkat human relation seseorang. Aspek sosiometrik meliputi: keramahan atau persahabatan, simpatik, sikap penerimaan terhadap orang lain, dan sosiabilitas.

Sebagian besar (78%) guru MTs memiliki kompetensi sosial yang cukup baik. Jika dilihat dari setiap aspek sosiometriknya, menunjukkan hasil yang sama, yaitu sebanyak 54-60 persen guru memiliki kompetensi social yang cukup. Tetapi ada sedikit (2-18%) yang memiliki kecendrungan sosiometrik yang cukup, bahkan lebih baik jika mereka memiliki kecendrungan sosiometrik yang tinggi.[39]

4) Kompetensi Keagamaan

Kompetensi keagamaan guru dimaksudkan untuk menyebutkan "komitmen" beragama guru, bias berupa nilai-nilai, sikap-sikap, dan perilaku beragama. Komitmen agama diukur dari ketaatan melaksanakan dan menjauhi larangan Allah, keakraban dengan Al-qur'an-Hadits dan Ulama, kegairahan dalam mempelajari ilmu agama, dan aktivitas dalam kegiatan keagamaan.

Guru agama di MTs secara umum memiliki aktivitas keagamaan yang cukup (64%) dan sisanya (34%) memiliki aktivitas keagamaan yang tinggi. Tidak ada guru PAI di madrasah yang memiliki aktivitas keagamaan yang rendah. Jika dilihat dari setiap aspek kompetensi keagamaan, komitmen terhadap perintah perintah dan larangan agama merupakan aspek religi yang paling baik. Kebanyakan guru (70%) memilki komitmen yang tinggi terhadap perintah dan larangan agama, dan sisanya (34%) memiliki komitmen yang cukup dalam hal ini. Banyak guru (60%) yang cukup memilki gairah yang untuk belajar agama, (34%) memiliki gairah yang tinggi dalam belajar agama, sedangkan (6%) memiliki gairah yang rendah dalam belajar agama. Aktivitas keagamaan dimasyarakat pun―secara umum―cukup baik. Sebagian besar guru memiliki aktivitas keagamaan di masyarakat walaupun ada sebagian yang kurang aktif dalam mengikuti kegiatan keagamaan di masyarakat.

Adapun kecendrungan responden untuk merujuk langsung pada Al-qur'an, kitab Tafsir, kitab Hadits, dan berkonsultasi dengan ulama beragam. Sebagian guru memiliki kecendrungan yang tinggi (34%) menggunakan rujukan Al-qur'an, Hadits, Tafsir dan sebagainya, sebagian memiliki kecendrungan yang cukup (38%), dan sebagian yang lain memiliki kecendrungan yang rendah (28%).

Bagi guru yang lebih cenderung menggunakan rujukan-rujukan Al-qur'an, Hadits, Tafsir, dan konsultasi kepada ulama, mereka layak menjadi guru. Sebaliknya bagi guru yang jarang menggunakan rujukan-rujukan tersebut, tetapi hanya menggunakan buku teks saja, mereka tidak layak menjadi guru agama.[40]

Kompetensi-kompetensi pendidik dapat dilihat melalui pendekatan bayany, burhany, dan ‘irfany.[41]

Pendekatan Bayani

Pendekatan Burhani

Pendekatan ‘Irfani

1. Orang yang menguasai ilmu-ilmu agama.

2. orang yang memahami al-qur’an dan menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya.

3. orang yang memahami hadits dan menguasai ilmu yang berkaitan dengannya.

4. hafidz,mujtahid, fuqoha, teolog.

1. ahli manthiq, ilmuan, fisikawan.

2. peneliti.

3. orang yang punya pola pikir logis-empiris.

1. spiritual-religius.

2. orang yang matang jiwa dan moralnya.

3. mempunyai kepekaan so-sial yang timggi dan terhindar dari sifat cela.

4. orang yang memiliki pengalaman, baik ilmu maupun spiritual.

واختم بأحسن ختام ۞ اذا دانـاالإنـــصرام

وحــان حين الحمــــام ۞ وزاد رشح الجبين

  1. KESIMPULAN

Pada hakikatnya, pendidik yang pertama adalah Allah, karena Allah yang mengajari manusia dari ketidaktahuan, sesuai dengan QS. Al-Baqorah: 32. kedua adalah para Nabi/Rasul. Ketiga adalah orang tua. Keempat adalah guru. Akan tetapi dalam pelaksanaannya orang tualah yang bertanggung jawab terhadap anaknya.

Pendidik merupakan salah satu unsur pendidikan yang dipandang dalam islam sangat tinggi, mempunyai kedudukan yang sangat mulia. Karena Ulama adalah pewaris para nabi, pendidiklah yang meneruskan perjuangan para nabi untuk mengenalkan (mendekatkan) peserta didik kepada Allah SWT.

Selaku pewaris para nabi, tentunya pendidik juga harus mempunyai keagungan akhlak, etika yang luhur, secara tidak langsung pendidik menjadi contoh (uswah) bagi peserta didiknya.

Dalam kaitannya tuntutan tersebut trentunya hanya dapat dipenuhi apabila dalam diri pendidik mempunyai kompetensi-kompetensi yang harus dimilki oleh setiap pendidik, sehingga seorang pendidik dapat berhasil dalam proses belajar dan pembelajaran.

Footnote:

[1] Abdul Mujib, et al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 87.

[2] Hafidz Hasan Al-mas'udi, Taisir Al-khollaq, (Surabaya: Al-miftah), h. 5.

[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam: integrasi jasmani, rohani, dan kalbu memanusiakan manusia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h.170.

[4] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 35.

[5] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 172-173.

[6] QS. al-Tahrim (66): 6.

[7] M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h. 81.

[8] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 39.

[9] H. Muhaimin, el-Hikmah; Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah, (Malang: Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Indonesia Sudan d.h. STAIN Malang, Volume 1 No. 1 2003), h. 10.

[10] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 172.

[11] Muhaimin, Quo Vadis Pendidikan Islam: pembacaan realitas pendidikan islam, social dan keagamaan, (Malang: UIN- Malang Press, . 2006), h. 101.

[12] Ibid., h. 102.

[13] H. Muhaimin, el-Hikmah; Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah, (Malang: Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Indonesia Sudan d.h. STAIN Malang, Volume 1 No. 1 2003), h. 10.

[14] Ibid., h. 10-11.

[15] Ibid., h. 11.

[16] Muhaimin, Quo Vadis Pendidikan Islam: pembacaan realitas pendidikan islam, social dan keagamaan, (Malang: UIN- Malang Press, . 2006), h. 105.

[17] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 177.

[18] QS. al-Baqarah:32

[19] Ibid., h. 178.

[20] Ahmad Al-Hasyimi Bik, Mukhtar Al-hadits An-nabawiyyah, (Surabaya: Al-hidayah), h. 29.

[21] Abdul Mujib, et al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 88.

[22] Ibid., h. 89.

[23] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 218.

[24] Abdul Mujib, et al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 90.

[25] Bahruddin dan Muh. Makin, Pendidikan Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia pendidikan, (Jogjakrta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 185-186.

[26] Abdul Mujib, et al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 92.

[27] Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 22-25.

[28] Tim Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Inovasi Pendidikan Agama dan keagamaan, (Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI), h. 82-83.

[29] Ibid,. h. 83.

[30] Ibid,. h. 84.

[31] Muhaimin, Quo Vadis Pendidikan Islam: pembacaan realitas pendidikan islam, social dan keagamaan, (Malang: UIN- Malang Press, . 2006), h. 101-102.

[32] Hasan, M. Ali dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h. 82-83.

[33] Bahruddin dan Muh. Makin, Pendidikan Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia pendidikan, (Jogjakrta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 181.

[34] Abdul Mujib, et al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 94-95.

[35] Ibid., h. 97.

[36] Tim Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Inovasi Pendidikan Agama dan keagamaan, (Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI), h. 84.

[37] Ibid., h, 84-85.

[38] Ibid., h, 85-86.

[39] Ibid., h. 87.

[40] Ibid., h. 87-89.

[41] M. Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an: integrasi epistemologi bayani, burhani, dan irfani, (Yogyakarta: Mikraj, 2005), h. 183.